Tapi Mengapa Hidup Kelewat Nyata?

Hana al Biruni
4 min readNov 20, 2023

--

“You can’t stop the waves but you can learn how to surf.”

Beberapa tahun belakangan, aku menyadari telah menepikan segala ragam celah yang bisa dimasuki motivasi. Baik itu dari tontonan maupun bacaan, aku menghindarinya. Aku memilih jalan sastra, maka aku tidak akan mentah-mentah menerima apa saja, pikirku. Aku akan membaca puisi dan cerita apa/siapa saja, tapi aku menolak bacaan motivasi, sekalipun itu kutipan bijak.

Boleh dibilang ini proses pendewasaan. Ketika segala sesuatu terasa memuakkan dan merasa telah meninggalkan masa kanak-kanak yang dipenuhi dengan nasihat, barangkali aku tengah merasa cukup dengan itu semua, dengan bekal pengetahuan dan kepekaan yang aku punya. Motivasi itu omong kosong. Belum lagi, beberapa waktu terakhir sedang tren demotivasi. Aku belum mempelajarinya, tetapi bersama beberapa kawan kami sepakat bahwa motivator-motivator itu sedang menebarkan toxic positivity — sekalipun pada saat itu kami hanya asal bicara.

Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kerumitan hidup, aku membutuhkan kembali kebijaksanaan. Dari petuah-petuah, gagasan filosofis, atau ayat-ayat yang meneduhkan, pada akhirnya aku mencarinya lagi. Semasa remaja, saat disebut-sebut sedang mencari jati diri, aku — barangkali juga kita — mudah kagum dengan banyak hal. Sekarang, aku merasakannya untuk kedua kali. Ada semacam kebutuhan akan arahan atau sedikitnya kalimat yang ngadem-ngademke.

Tahun 2020, untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah, aku dan teman-teman diminta mendengarkan seri Ngaji Filsafat lalu menuliskan hasil pemahaman kami. Itu kali pertama aku mengenal Pak Fahruddin Faiz, mengenal suaranya yang teduh lagi menenteramkan. Seolah-olah segala kunci kebijaksanaan hidup abad ini ada padanya, tertangkap dan mewujud lewat tuturan-tuturannya. Saat itulah aku mulai mendengarkan seri-seri Ngaji Filsafat lainnya yang kebetulan lebih mudah diakses di Spotify.

Dua tahun berselang, setelah hanya mendengar lewat gawai, aku memutuskan untuk melakukan semacam rihlah pada hari jelang usia baru. Itu 2022, ketika manusia yang didera krisis seperempat abad ini sedang mencari petunjuk atau sekadar angin segar. Kuputuskan menempuh perjalanan Solo — Jogja dengan motor. Itu bukan perjalanan singkat dalam satu hari. Tujuan utamaku pantai di Gunung Kidul, tetapi sebelum itu aku mengunjungi beberapa tempat, salah satunya Masjid Jendral Sudirman, tempat rutinan Ngaji Filsafat dilaksanakan.

Belakangan hari aku khatam buku baru Pak Faiz (terbit Februari 2023), Menjaga Kewarasan. Buku itu sebenarnya berisi materi Ngaji Filsafat edisi “Menjaga Kewarasan” bulan Desember 2021. Setelah beberapa kali menghadiri rutinan ngaji itu, aku sendiri menganggap Ngaji Filsafat jadi semacam kuliah dua (2) SKS sebab selain mendapat hikmah ilmu akibat bertempat di masjid, dari situ juga setidaknya aku mendapat pengetahuan bercorak akademis, pengetahuan yang sesungguhnya juga ada di buku-buku teks, tapi disampaikan dengan cara yang elegan.

Di tengah pembacaan, aku menyadari betul bahwa buku yang sedang aku hadapi ini isinya nasihat-nasihat — di samping memang bertema kesehatan mental. Aku, pembaca, seolah dibimbing dan ditunjukkan jalan atau cara-cara mengurai kekusutan. Barangkali sebab merasa keliru, kalut, atau semacamnya, aku sebagai pembaca tidak merasa sedang didikte oleh Pak Faiz. Kelapangan semacam itulah yang jarang aku miliki — kesadaran akan kebutuhan terhadap nasihat bijak untuk membantu mengambil sikap atau menentukan laku hidup yang mesti dijalani.

Selama ini mungkin aku terlalu sombong, merasa yakin dapat mengatasi segala hal sendiri dan mencukupkan mutiara-mutiara yang sejatinya perlu sesekali dibersihkan dari debu-debu. Pembaruan ilmu itu jarang aku lakukan sebab enggan menerima pengulangan. Sederhananya, diri ini sombong dan nyaris berhenti belajar (dalam arti mengambil hikmah).

Beruntung, aku yang sekarang sudah berani punya mimpi — setelah mengikhlaskan impian masa kecil. Bukan sesuatu yang mewah dan aku tidak akan secara gamblang menyebutkannya di sini. Bukan sesuatu yang sudah cukup konkrit pula, masih serupa bayang-bayang, tetapi aku mantapkan keinginanku untuk setidaknya tahu hidup seperti apa yang layak aku semogakan.

Pada hari-hari nyaris putus asa itu aku bertemu banyak orang baik, kawan lama ataupun baru. Kepada mereka sudah kutumpahkan kelucuan-kegetiran, dari tragedi hingga komedi, dan saat kelepasan mengucap bahwa ada setitik hasrat hendak menyerah, tiba-tiba saja aku merasa malu sekaligus khawatir membuat mereka kecewa. Mereka barangkali menertawakanku, juga barangkali ingin mendapatiku meraih beberapa pencapaian besar — meski selama ini aku cukup dengan perayaan kecil.

Tekad kubulatkan sempurna. Aku bertahan dan menyusun ulang kemungkinan-kemungkinan.

Hari depan ternyata masih sangat layak diperjuangkan. Aku hanya perlu hadir, sepenuh-penuh hadir di masa kini, sekarang, tanpa banyak kecemasan dan perasaan sesal. Aku hanya perlu hadir, sepenuh-penuh hadir, untuk kemudian mengalur-mengalir: menjalani hidup dengan banyak cerita, baik sesuai alur (mimpi) maupun tidak; menjalani hidup seada-adanya dalam segala keadaan — mengalir tapi bukan sekadar mengikuti aliran atau bahkan mengikuti arus atau bahkan hanyut — serta berpartisipasi dalam takdir tanpa banyak menaksir.

Aku hanya perlu menyediakan selebar-lebar telinga dapat mendengar dan membuka seluas-luas mata dapat memandang, setelah menyadari bahwa ternyata selama ini aku bukan menghindari motivasi. Sekarang, setelah “Terjemah Rasa”, “Menghilang, Menemukan Diri Sejati”, dan “Menjaga Kewarasan”, aku mengakui bahwa aku bukan tidak mau mendengar atau membaca buku motivasi. Hanya saja, kebijaksanaan itu baru dapat aku terima jika itu dari orang-orang tertentu.

Ada bertumpuk-tumpuk dan jejeran buku yang mesti dibaca dan motivasi itu, hikmah itu, kukira, pasti ada di mana saja. Tidak harus buku dengan tema tertentu, bukan? Untuk saat ini, aku tidak sedang meminta rekomendasi. Cukup sekadar ingin berbagi. Pertarungan dengan diri dan bacaan masih terus bergulir dan kiranya, obrolan mengenai apa saja akan tetap perlu digelar. Pun, toh itu sebagai upaya merawat ingatan, selain dalam bentuk tulisan — seperti ini.

Sampai jumpa di obrolan dan di ruang (apa saja)!

Tabik!

Surakarta, 20–21 November 2023
di usia baru

Catatan: Kutipan di awal tulisan terdapat di buku “Menjaga Kewarasan halaman 114.

--

--

Hana al Biruni

hadir dan mengalur-mengalir || uuhanaaa@gmail.com || Indonesian literature and cultural studies