Pesta Dulu, Pesta Sekarang, Pesta Selalu

Hana al Biruni
10 min readFeb 24, 2024

--

Hidup manusia dipenuhi perayaan. Manusia adalah makhluk kecil yang gemar merayakan banyak hal. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V memuat definisi pesta sebagai “perjamuan makan minum (bersukaria dan sebagainya); perayaan”. Pesta seolah menjadi ekspresi manusia atas kehidupan.

Biasanya pesta menjadi bagian dari rangkaian upacara. Ketika manusia berusaha memaknai setiap daur kehidupannya, misal, dengan pelaksanaan upacara, menghubungkan diri dengan kesemestaan, hal itu diselingi dengan pelaksanaan pesta pula. Bergembira kemudian dapat dimaknai sebagai wujud rasa syukur. Berpesta juga bisa merupakan kegiatan yang dilakukan setelah berhasil melewati atau mendapatkan sesuatu. Ketika masa panen atau kelulusan, misalnya, manusia menyelenggarakan pesta, bersenang-senang, atau mengadakan perjamuan.

“Mangan Ora Mangan, Sing Penting Kumpul”

Ketika membaca pengertian pesta di kamus sebagai “perjamuan makan minum”, kita mungkin teringat dengan salah satu ungkapan yang sekaligus menjadi judul buku karangan sastrawan besar kita, Umar Kayam, yakni Mangan Ora Mangan Kumpul.

Bahasa Indonesia masih mendefinisikan pesta sebagai kegiatan yang berisi makan-makan, sementara masyarakat Jawa mudah saja berpesta, dengan atau tiadanya makanan. Kita lalu menjadi sadar kemungkinan betapa sulitnya mendapatkan makanan ketika ungkapan itu muncul, baik sebab masalah ekonomi maupun krisis pangan yang nyata, sehingga menyebabkan orang-orang mengikhlaskan kegiatan makan saat bersama.

Namun, kita bisa saja menduga: definisi itu benar telah usang dan masyarakat Jawa memberi makna baru atas pesta dan kegiatan bersenang-senang, bahwa bersama itu tidak selalu menyoal perut semata. Ada bagian tubuh lain — konkrit ataupun tidak — yang dapat diberi asupan.

Pesta, Kesehatan Mental, dan Kapitalisme

Pesta dalam masyarakat Barat cukup dinamis. Gagasan mengenai pesta telah diungkapkan para tokoh, baik yang memandangnya sebagai hal positif maupun sebaliknya. Setelah membaca bab “Feasting and Festivity” dalam Classic Concepts in Anthropology-nya Valerio Valerie (2018), kita dapat mengira bahwa banyak pesta pada masa silam dilakukan dalam perayaan hari raya keagamaan.

Pada era rasionalisasi dan industrialisasi, pengurangan intensitas pesta boleh jadi dimaksudkan agar manusia dapat lebih produktif, lebih banyak bekerja, alih-alih berpesta sehingga ada pendapat bahwa pesta adalah sebuah kegiatan dan bentuk perkumpulan yang tidak dimotivasi oleh kegunaan. Dengan kata lain, pesta tidak terlalu nampak berguna bagi manusia pada saat itu. Bahkan, berpesta disamadengankan sebagai kegiatan yang tidak bermoral.

Seorang agamawan, Uskup Agung Dijon, menyatakan bahwa kegiatan bekerja adalah jaminan moralitas dan seseorang dikatakan tidak bermoral ketika menganggur (2018: 90). Ia sebenarnya lebih mengkritik para penikmat hari libur (dari kerja) — hari-hari raya keagamaan — yang tidak terlalu merenung atau melakukan kerja keagamaan saat perayaan hari raya. Artinya, merayakan sebuah hari raya tidak semestinya dengan berhenti berbuat sesuatu yang bermanfaat atau sekadar bersenang-senang (berpesta), tetapi mengerjakan pekerjaan keagamaan. Inilah yang kemudian barangkali membuat kita menginsafi sesuatu bahwa ketika mendapat jatah libur tiap hari raya — agama apa pun di Indonesia — yang kita pikirkan hanyalah bersenang-senang.

Akan tetapi, pendapat-pendapat itu hanya berdasarkan pandangan sebagian sisi dari pesta. Di lain sisi, Rousseau agaknya lebih memedulikan kemanusiaan di atas kewajiban kerja. Menurutnya, menjauhkan pesta dari orang-orang akan menghilangkan keinginan mereka untuk hidup (2018: 90). Dengan demikian, hal ini akan menghilangkan pula motivasi mereka untuk bekerja. Pada masa ketika kapitalisme muncul dan berjaya sehingga mengharuskan manusia untuk bekerja, dalam arti bekerja bukan untuk dirinya sendiri, kehidupan tanpa pesta dapat dipastikan akan membuat manusia semakin terasing. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang betapapun individualisnya mereka, tetap membutuhkan manusia lain agar tidak terisolasi, merasa buruk, kesepian, lalu terkikis keberadaannya, kemanusiaannya, kemenjadiannya sebagai manusia yang penuh dan utuh.

Hal yang menarik dari pendapat Rousseau yang lain yaitu bahwa berpesta — dalam perayaan hari-hari raya primitif — dapat menjadikan manusia lebih lembut dalam bersikap terhadap satu sama lain, berjuang untuk dimengerti orang lain, dan belajar menjelaskan diri sendiri (2018: 91). Ia menyebut pesta sebagai “tempat lahir semua orang”. Ketika berpesta, manusia mengekspresikan dirinya. Meski kebanyakan pesta melahirkan kegaduhan, barangkali maksud dari “dapat menjadikan manusia lebih lembut” itu adalah dengan saling memahami karakter masing-masing lalu menyadari perbedaan. Selain itu, bisa juga dengan mengekspresikan diri sendiri, manusia sesungguhnya ingin dipahami dan dianggap ada, diakui keberadaannya, posisinya sebagai sesama manusia dalam sebuah lingkaran.

Jika masyarakat sebelumnya melaksanakan pesta saat hari-hari raya atau hari-hari besar, lalu mengambil jeda untuk beberapa waktu dari kegiatan bekerjanya di ladang, misal, kini mayoritas masyarakat dapat memilih dan menentukan pestanya masing-masing. Hal ini umum terjadi di masyarakat urban, masyarakat industrial, yang kegiatan kerjanya sudah terpola, memiliki jatah libur tiap pekan dan cuti tahunan, sehingga mereka bisa menciptakan pestanya sendiri.

Banyak pesta kemudian diselenggarakan pada akhir pekan, misalnya konser musik yang hampir selalu ada setiap pekannya di beberapa titik kota, baik mini maupun mega konser. Kita jadi teringat pula gelaran konser tahunan bernama Pestapora yang amat terkemuka. Beragam genre dan beragam kelas sosial dapat ditampungnya. Belum lagi industri musik internasional yang selalu berhasil memukau kita, yang tiketnya selalu ludes terpesan dalam hitungan menit.

Contoh lain yakni kegiatan berlibur sebagai pesta yang terencana. Jatah libur atau cuti sering kali dimanfaatkan masyarakat untuk berwisata. Kegiatan satu ini sungguh menguntungkan bermacam industri: transportasi, akomodasi (hotel dan penginapan), restoran, dan sebagainya.

Kegiatan-kegiatan tersebut menjelma menjadi kebutuhan palsu setiap manusia. Semula memang itu bukan merupakan hal yang harus terpenuhi. Namun, karena dorongan iklan-iklan, manusia merasa perlu untuk berpesta setelah banyak/rutin bekerja. Ini menjadi pembahasan dalam persoalan industri budaya. Menurut Mazhab Frankfurt, industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa sehingga mencetak kesadaran mereka dengan cara menanamkan keinginan mereka atas kebutuhan-kebutuhan palsu (Strinati, 2020: 74–75). Salah satu tokoh, Herbert Marcuse, menyatakan bahwa masyarakat menyediakan suatu mekanisme untuk memanipulasi kebutuhan-kebutuhan, misalnya lewat iklan-iklan (Poespowardojo & Seran, 2021: 158).

Benar bahwa iklan memberi pengaruh sedemikian besar terhadap sikap konsumsi manusia, baik kebutuhan sejati maupun palsu. Namun, hal ini seolah menjadikan manusia sebagai individu yang pasif yang mudah digerakkan oleh iklan. Padahal, di balik itu, ada sistem besar yang mengakibatkan manusia berperilaku demikian.

Era kapitalisme ketika manusia dituntut untuk melakukan kerja yang bukan untuk dirinya sendiri, teralienasi, dan merasa selalu harus memiliki ini dan itu dengan mengorbankan waktu, tenaga, dan nilai yang mereka miliki, hal ini cukup membuat manusia seolah telah melakukan pengorbanan besar yang patut diganjar hal setimpal pula. Inilah yang kemudian menyebabkan manusia membutuhkan perayaan-perayaan, kecil ataupun akbar.

Tidak dapat kita mungkiri pula bahwa kapitalisme sangat berperan terhadap kesehatan mental manusia saat ini. Para pekerja adalah golongan yang rentan mengalami ketidakstabilan mental. Belum lagi, di luar tuntutan pekerjaan, masih ada kenyataan getir yang mesti dihadapi, misal harga hunian layak yang melangit dan semakin tidak tergapai. Pesta kemudian menjadi semacam perayaan sekaligus pelarian dari hiruk pikuk kesibukan kerja.

Berpesta dan kecenderungan manusia untuk bersenang-senang kemudian dikomodifikasi dalam bentuk konser dan wisata dengan dalih menjaga kestabilan kondisi mental setelah bekerja. Kegiatan pesta yang semula organik — ada dalam perayaan hari raya atau bagian dari upacara — ini kemudian menjadi kegiatan yang diserupakan kebutuhan pokok setara sandang, pangan, dan papan sehingga perlu dipenuhi lewat serangkaian acara yang dirancang oleh perusahaan-perusahaan jasa (event organizer atau biro perjalanan wisata) ataupun secara mandiri.

Dengan demikian, pesta pada era kapitalisme dapat dikatakan sebagai kebutuhan palsu yang juga berkaitan dengan kesehatan mental sebagai akibat dari kondisi kapitalisme itu sendiri. Ini pulalah sesungguhnya menjadi seperti lingkaran setan yang tiada putusnya, memperpanjang umur kapitalisme itu sendiri, kegelisahan sehari-hari. Sebuah ironi.

Pesta Demokrasi: “Si Paling” Pesta?

Salah satu esensi dari pesta yakni dapat mendamaikan diri dengan orang lain (2018: 100). Pesta dapat menjadi sarana berkumpulnya banyak orang untuk berbagi kegembiraan. Hubungan yang semula renggang menjadi lebih baik setelah berpesta, misalnya.

Akan tetapi, kita pasti menyadari penggunaan kata “pesta” di tahun-tahun politik seperti sekarang ini dalam istilah “pesta demokrasi”. Baik penyelenggaraan pemilu maupun sekadar pilkada, “pesta demokrasi” selalu terdengar di setiap gelaran demokrasi. Istilah ini menjadi umum dan kita sepakati bersama sebab memang pesta itu sendiri seolah lebih banyak meriahnya saat kampanye, alih-alih hari pemilihan/coblosan.

Kampanye, seperti yang dapat kita amati, berupa pawai dan bagi-bagi sembako atau lembaran uang. Mari kita kesampingkan dulu aturan dan etika kampanye politik. Hal-hal demikian telah menjadi lumrah dan berterima. Pesta demokrasi kemudian lebih mirip pesta janji, alih-alih berkenalan dan menyelaraskan visi.

Sebagai rakyat biasa, kita boleh saja muak dengan kenyataan demikian. Namun, sebagai rakyat biasa pula kita sebenarnya rentan untuk diadu domba. Ketika telah memiliki satu calon andalan atau pilihan yang sekiranya sesuai dengan cita-cita — atau setidaknya yang paling manis janji-janjinya — dan berbeda dengan orang lain, terciptalah kubu-kubu yang seolah saling berlawanan.

Peristiwa demokrasi yang digadang-gadang memberikan kebebasan memilih yang terbaik ini kemudian menjadi ajang untuk saling menjatuhkan, saling mengalahkan. “Versi terbaik” tiap orang berbeda-beda dan karenanya rentan terjadi perpecahan. Inilah yang kemudian menimbulkan tanda tanya: kenapa disebut “pesta demokrasi”, padahal di beberapa peristiwa jelas-jelas kegiatan ini tidak bersifat mendamaikan satu sama lain, malah memecah-belah?

Kita kemudian mendapatkan jawaban, sesederhana bahwa ini adalah permainan diksi zaman Orde Baru. Disebutnya pesta yaitu bertujuan untuk meningkatkan partisipasi rakyat untuk memilih pada saat itu. Istilah itu diperkenalkan sendiri oleh Presiden Soeharto pada 1981, menjelang pemilu ketiga Orba tahun 1982, meski sebuah lagu gubahan Mochtar Embut, Mars Pemilihan Umum (1971), telah turut menggema setiap mendekati pemilu.

Dengan memaknai pemilu sebagai pesta demokrasi, rakyat juga merasa turut berpesta, meskipun hanya ilusi — pesta hanya saat kampanye sebagai bentuk pencitraan. Rakyat juga dianggap tetap berpartisipasi dalam demokrasi, sekalipun pada saat itu yang memenangkan pemilu hanya partai tertentu dan elit yang itu-itu saja sehingga sikap kritis dan bijak seolah tidak diperlukan.

Pembelokan istilah “pesta” dalam “pesta demokrasi” yang kemudian memberi makna baru bagi pesta ini menjadi sebuah ketelanjuran yang sulit diluruskan — jika mengharuskan demikian. Tentang bagaimana pesta itu seharusnya dimaknai, hingga hari ini, menjadi kacau, terlebih jika dikaitkan dengan demokrasi itu sendiri.

Apa yang terjadi pada masa silam seolah terwariskan. Pesta demokrasi hari ini mempertontonkan para elit partai, para caleg, yang menari-nari dan disebarluaskan di seluruh penjuru media. Jika disebut memalukan, agaknya ini tidak sepenuhnya disetujui sebab pola kampanye ini sudah ada sejak lama, pastinya. Kebetulan pula, media yang banyak disorot hari ini adalah media sosial berbasis audio-visual yang menyediakan ruang bagi konten video yang umumnya dengan format yang sama, dengan tarian, yakni TikTok. Mudah sekali menarik perhatian generasi Z saat ini yaitu dengan metode kampanye demikian, dengan tarian, seolah sedang berpesta.

Baik pesta maupun demokrasi itu sendiri kemudian mengalami pendangkalan. Dua kata yang telanjur lama disandingkan itu turut memengaruhi cara berpikir masyarakat kini sebagai rakyat dalam menempatkan diri antara pesta yang sebenar-benar pesta dan demokrasi yang bukan asal demokrasi, asal memilih.

Jika dikaitkan dengan kondisi hari ini ketika pemilu disebut sebagai pesta demokrasi, ketika “serangan fajar” banyak dilakukan para calon legislatif, ketika bansos banyak dibagikan untuk pemenangan — sudah menjadi rahasia umum — salah satu paslon tertentu, ketika perhelatan berupa konser dan pawai sering diselenggarakan, pantas saja disebut “pesta”.

Yang menjadi ironi adalah melonjaknya harga beras yang diduga kemungkinan besar penyebabnya adalah bagi-bagi bansos secara jor-joran tersebut. Adalah sebuah hal lucu ketika ada cerita bahwa asisten rumah tangganya memiliki beras lebih banyak, sementara stok di warung menipis, bahkan langka. Kini (akhir Februari 2024), harga beras menyentuh angka 18 ribu rupiah per kilonya. Sungguh harga yang fantastis bagi negeri yang katanya agraris ini.

Pesta kemudian seolah melanggengkan kemiskinan itu sendiri, mengingat pendapat umum selama ini bahwa bansos dengan bentuk barang tidak sepenuhnya mengatasi kemiskinan dan malah membuat rakyat ketergantungan dengannya. Apakah negara secara sengaja memelihara kemiskinan agar dapat membeli kekuasaan itu dari suara rakyat miskin yang sering merasa dituntut untuk berterima kasih kepada pemerintah?

Pesta dan Narasi “Satu Putaran”

Bagaimanapun, pemilu adalah agenda lima tahunan yang sangat memuakkan. Masing-masing dari kita bisa saja berlainan pilihan dan terjadi adu pendapat, apalagi di media sosial. Rentetan poster dan baliho nirestetika begitu sering kita jumpai sepanjang jalan. Banyak orang kemudian menginginkan semua ini lekas usai agar dunia dan kehidupan kembali berjalan sebagaimana biasanya.

Namun, inilah yang juga dipelintir oleh salah satu paslon yang terlalu menginginkan kemenangan. Kebetulan, pilpres 2024 diikuti oleh tiga paslon. Butuh dua kali penyelenggaraan pilpres untuk bangsa ini mendapatkan presiden baru, kecuali dengan beberapa syarat (yang umum diketahui adalah minimal perolehan suara sebesar 51% atau unggul di 20 provinsi — mohon koreksi bila keliru).

Di jalanan kita sering menjumpai baliho bertuliskan “Gerakan Satu Putaran”. Narasi yang terkandung di dalamnya yakni mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan pemilu satu putaran karena dianggap hemat waktu, hemat biaya, dan lebih damai. Dianggap lebih damai karena paslon yang menggaungkan gerakan itu memang sering menyebut persatuan dan kesatuan. Sungguh seorang nasionalis sejati.

Inilah yang kemudian banyak dikomentari. Bukankah dalam demokrasi, perbedaan itu niscaya? Jika menuntut kedamaian, tidak bisakah kita menghargai beragamnya keinginan dan harapan setiap orang? Mengapa harus menghindari seteru jika memang itulah jalannya? Semakin banyak diskusi dan pertimbangan bukankah lebih baik? Apakah kita mesti menerima siapa pun suara terbanyak tanpa memperdebatkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dari rekam jejak dan rencana kebijakan yang dinilai ngawur dan tidak logis bin realistis? Mengapa kita begitu mendambakan kedamaian jangka pendek, alih-alih memilih yang terbaik agar dapat mengupayakan kedamaian yang lebih berumur panjang?

Satu yang paling saya ingat adalah cuitan Andhyta F. Utami (@Afutami) pada 18 Januari 2024:

Sejahat-jahatnya narasi adalah pemilu satu putaran atas nama ‘efisiensi’. Seolah-olah esensi demokrasi memilih pemimpin tidak sah untuk menjustifikasi biaya publiknya.
Lagipula ‘memburu-buru’ adalah trik textbook untuk menjebak orang memakai ‘Sistem 1’ dan tidak berpikir kritis.

Kita jadi sadar bahwa konsekuensi demokrasi, salah satunya, adalah biaya yang dibutuhkan untuk pemungutan suara. Jika dua putaran, mereka menilai, hal itu memakan anggaran sangat banyak sehingga muncullah “hemat biaya” tersebut. Padahal, demokrasi menjadi sebaik-baik sistem yang bisa kita upayakan untuk memilih pemimpin terbaik untuk saat ini, bukan asal-asalan asalkan rampung dan besok lekas punya presiden baru. Jika ingin lebih efektif, bisa saja langsung tunjuk, kembali pada sistem kerajaan saja, bukan?

“Gerakan Satu Putaran” kemudian seolah mendorong masyarakat untuk tidak berpikir kritis, hanya ingin praktis. Bagaimana tidak? Yang terjadi adalah keengganan masyarakat untuk menimbang lebih jauh dan menggali lebih dalam informasi dari setiap calon. Mereka (atau kami) seolah diarahkan untuk memilih salah satu paslon sehingga terlaksana satu putaran itu dan kemenangan dapat diperoleh dengan iming-iming makan siang gratis. Kita berhak marah. Sangat berhak dan sudah sepantasnya kita marah.

Satu hal yang lucu adalah bagaimana narasi ini begitu bertentangan dengan “pesta” itu sendiri. Bukankah manusia gemar berpesta? Bukankah jika ada pilpres dua putaran, akan lebih banyak bansos dan amplop dibagikan? Lebih banyak konser musik dan pawai? Iya, ‘kan? Bukankah itu menyenangkan?

Surakarta-Pekalongan-Surakarta, Desember 2023 — Februari 2024

Beberapa rekomendasi bacaan yang menjadi referensi tulisan ini:
1. Poespowardjo, M.T. Soerjanto & Alexander Seran. (2021). Diskursus Teori-Teori Kritis: Kritik atas Kapitalisme Klasik, Modern, dan Kontemporer. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
2. Strinati, D. (2020). Popular Culture. Yogyakarta: Ar-Ruuzz Media.
3. Valeri, Valerio. (2018). Classic Concepts in Anthropology. Chicago: HAU Books.

--

--

Hana al Biruni

hadir dan mengalur-mengalir || uuhanaaa@gmail.com || Indonesian literature and cultural studies