Kepada Kawan #11: Selalu dengan yang Lain

Hana al Biruni
4 min readMar 23, 2024

--

“Manusia menjadi manusia seutuhnya jika bersama dengan yang lain.”

Hari ini (24 Maret) tepat setahun lalu dua tulisanku dimuat di dua surat kabar sekaligus: Solopos dan Tribun Jateng. Setelahnya, tulisan-tulisanku nihil tembus lagi ke media. Paling banter hanya di Medium. Aku tidak menyebut tempat itu sebagai pembuangan. Sering kali aku memang memutuskan hanya sampai di situ tulisan-tulisanku itu, tidak perlu mengembara ke alamat surel berbagai media. Harga yang harus dibayar untuk melunasi keinginan beberapa waktu lalu — kau tahu yang kumaksud — adalah ini; kebuntuan dalam menulis. Betapa situasi akademik begitu tidak mendukung untuk menulis. Memang tetap ada kemarahan-keresahan-kekesalan, tetapi aku selalu gagal untuk menuliskannya dengan baik.

Benar, kita memang mudah terdistraksi. Misal, ketika menulis ini, fokusku teralihkan untuk mengecek apakah betul tanggal yang aku sebutkan itu, lalu tersesat di galeri memandangi foto-foto lama dalam waktu seperempat jam. Juga malang betul kita-kita ini yang terbiasa menggunakan gawai, menonton konten video lima belas detik. Urusan ketahanan membaca dan menulis, kuakui aku sudah payah. Sangat berbeda dengan diriku saat masih SMP atau SMA. Kau sendiri bagaimana, Kawan?

Maka dari itulah, aku teringat obrolan kemarin (23 Maret 2024) di Bilik. Si Pencerita, tentu kau masih ingat dirinya, lagi-lagi bercerita kemampuan menulisnya di tengah tanggung jawab, hobi, dan urusan domestik. Kali ini ia sempat bercerita mengenai dirinya sendiri, caranya menulis, hingga caranya mengajar orang-orang yang bersamanya beberapa tahun silam. Ia sudah berbeda, katanya. Aku tidak memahaminya; tidak mengetahui perbedaan itu. Cukuplah aku jadi pendengar.

Kemampuan menulisnya tidak kita ragukan lagi. Ia bisa menulis satu esai dalam waktu satu jam, terangnya. Bahkan, di tengah kegiatannya mengajar, mengobrol dengan tamu yang ingin sinau, ia tetap dapat menulis. Saat itu, katanya, di tempat yang sama, ia dapat menepi untuk sekadar menulis … dan jadi tulisan! Ia tidak menunggu suasana, tidak perlu menyetel musik tertentu atau menyeduh kopi dengan metode-metode tertentu.

Ia orang sibuk. Meski terlihat selalu mampu menerima tamu dan memenuhi obrolan, nyatanya ia betulan orang sibuk. Pekerjaan rumahnya banyak — ia lelaki yang juga ambil bagian dalam mengurus rumah. Hobinya yang sederhana, menonton bola, tidak boleh ketinggalan — jadwalnya hampir selalu malam atau dini hari. Anak asuhnya juga banyak — di musala, di sekolah, dan para tamu — yang beberapa waktu dalam sepekan “belajar” bersama.

Tidak sekadar bercerita, samar-samar ia menyelipkan nasihat kepada kami untuk berbuat, khususnya menulis. Di tengah tanggung jawab, kita tetap bisa menyelesaikan tulisan. Kawan, kita boleh mendambakan suatu keadaan yang damai ketika kita tidak memiliki kesibukan apa pun atau tenggat tertentu sehingga dapat fokus menulis. Nahas, itu nyaris tidak mungkin. Pada saat lapang pun, kita tetap terdistraksi untuk mencari kegiatan lain, alih-alih menulis atau membaca, bukan?

Nyatanya, menulis itu sungguh dapat tercapai; tulisan itu dapat terwujud. Meski dipenuhi tugas dan kewajiban, kita sebenarnya mampu. Selama kita menuntaskan pekerjaan wajib, kukira. Musuh kita lainnya yaitu menunda. Ini hampir niscaya — aku sering mengalaminya.

Dengan pekerjaan lain, di tengah kewajiban, tulisan itu hadir. Oh iya, konteks pembicaraan itu mungkin menyinggung seorang pengarang agak terkenal yang mengeluhkan hidupnya dengan menulis yang tak kunjung kaya. Si Pencerita pada akhirnya berujar, “Menulislah bukan untuk sebagai target; menulislah untuk sebagai pemberian.”

Target itu identik dengan keuntungan, Kawan. Itu yang disampaikan si Pencerita. Ketika kita menulis dengan tujuan keuntungan, katanya, nyaris mustahil untuk meraihnya. Menulis sendiri bukan agar kaya. “Nulis iku kanggo nguripi, dudu ben sugih,” (menulis itu untuk menghidupi, bukan agar kaya) kata salah satu pendengar berkacamata yang duduk di dekat pintu.

Ia tetap menulis sebab dijadikan serupa pemberian/persembahan. Dikirimkannya ke media “biasa” yang tidak berhonor, tidak mentereng sama sekali. Hanya sebagai konten, bisa saja, tetapi itulah pemberiannya. Pada akhirnya, ia menyalin ucapan simbok-nya, “Lakukan sesuatu, apa saja, selama itu tidak ada ruginya.”

Lanjutnya sendiri, “Impas saja belum, apalagi untung. Yang penting tidak ada ruginya.”

Itulah capaiannya dalam menulis sehingga ia tetap menulis.

Dari situ, obrolan kami sampai pada kenyataan bahwa menulis atau apa pun kegiatan yang ingin kita lakukan, sesuatu yang ingin kita capai, dapat kita wujudkan meski dengan segala keterbatasan waktu/tenaga/materi, situasi yang tidak mendukung, dan banyaknya kewajiban yang kita tanggung. Sebab, “bunga itu indah jika bersama yang lain”. Kutipan itu menjadi secuil dari obrolan kami sepekan sebelumnya (16 Maret 2024), dinukil dari sajaknya Rabindranath Tagore (lupa judulnya) mengenai bunga.

Di taman banyak bunga — taman bagiku terkesan buatan, tidak organik, sebab sengaja dibentuk dan dipoles untuk menghiasi kota atau istana atau pekarangan — kita mendapati bunga adalah hal yang biasa, lumrah saja berada di situ, dan sejenis dengan yang lainnya; tidak istimewa dari yang lain. Sementara itu, di setapak jalan yang ditumbuhi tumbuhan liar atau tempat apa saja yang di situ tidak banyak didapati bunga — berbeda dengan taman, tempat yang seperti ini terkesan lebih organik — kita mudah takjub saat melihat satu-dua bunga yang tampak. Itulah yang menjadikannya istimewa: bersama dengan yang lain.

Manusia pun demikian. Kita dapat menjadi manusia seutuhnya ketika bersama dengan yang lain. Lebih lanjut, obrolan mengenai “bersama” ini jadi obrolan lebih dari dua pekan sebelumnya lagi (29 Februari 2024). Banyak orang menghindari “bersama” sebab tidak menginginkan konflik atau semacamnya. Padahal, dengan adanya konflik, itu menunjukkan bahwa kita masih manusia (masih berkonflik). Ketiadaan konflik, bukan damai pula, hanya biasa/hambar, tanpa sadar mengikis kemanusiaan kita.

Begitu pula dengan aktivitas harian. Menulis, membaca, atau apa saja yang menjadi jalan kita untuk mencapai tahap yang kita inginkan, dapat kita lakukan bersama dengan aktivitas lain; dapat tuntas seiring dengan tuntasnya kewajiban lain.

Kawan, kali ini aku belum mampu menjanjikan untuk menghadirkan tulisan lebih baik sebab telah ambil jeda cukup lama. Pikirku, aku akan kembali belajar mencatat. Kusadari, banyak sekali yang luput aku ingat dari obrolan kemarin. Catatan tidak kunjung selesai, apalagi tulisan. Metode yang kugunakan kemarin pun hanya memunculkan kemalasan baru. Rasanya, aku perlu memperbarui cara belajar.

Tabik!

Surakarta, 24 Maret 2024
Dari: Hana al Biruni
Untuk: Kawan(-kawan)ku

Sahur!

--

--

Hana al Biruni

hadir dan mengalur-mengalir || uuhanaaa@gmail.com || Indonesian literature and cultural studies