Cuaca, Kendali Pikiran, dan Percakapan

Hana al Biruni
3 min readDec 7, 2023

--

“Akhir-akhir ini cuaca sedang panas-panasnya, sudah seperti situasi politik negeri saja.”

Barangkali begitulah yang banyak terdengar di wedangan/angkringan, di parkiran, di mana-mana. Percakapan tersebut tidak selalu bermaksud si penutur sedang mengeluh atau mengutuk keadaan, sekalipun sangat mendambakan segelas penuh es teh jumbo dan ruangan ber-AC dengan suhu paling rendah. Pun, tidak mesti pula ia ingin membicarakan kisruh politik dan persoalan-persoalan serius dalam sekali sapa.

Cuaca dalam percakapan sering tergunakan sebagai materi basa-basi pada umumnya. Selain menyapa biasa, selanjutnya seseorang dapat menanyakan kabar atau langsung pada komentarnya mengenai cuaca hari itu. Ini menandakan, sebagai manusia yang bertemu dengan manusia lain, ia ingin beramah-tamah (Concon Jr. dalam Bahasa, Pengaruh dan Peranannya — Panggabean, ed. — terbitan Gramedia, 1981: 19).

Ternyata inilah salah satu fungsi komunikasi, membuka pembicaraan. Lewat pertanyaan mengenai cuaca, terbukalah saluran komunikasi ke perbincangan-perbincangan selanjutnya, baik itu sekadar untuk mengusir bosan maupun sebentuk upaya menghargai keberadaan orang lain. John C. Concon Jr. (1981: 20) menyatakan, peraturan satu-satunya yang berlaku untuk tahap basa-basi untuk membuka pembicaraan adalah bahwa pokok masalah dalam komunikasi harus merupakan masalah yang dapat dibicarakan oleh kedua belah pihak, maka itulah sebabnya mengapa setiap orang membicarakan cuaca.

Sekalipun hanya serupa basa-basi umum, persoalan cuaca dapat mengantarkan kita pada kesadaran “sekarang”. Memang, setiap manusia tidak perlu disadarkan bahwa saat ini udara terasa dingin ataupun panas. Respons tubuh manusia dapat mengatakannya lebih dulu dari basa-basi cuaca itu. Namun, lebih dari itu, dengan menyadari cuaca dan segala yang menyertainya pada saat itu — embusan angin, gerak daun & reranting, terik matahari, tebal/tipisnya awan & objek-objek yang menyerupainya, seberapa mendung langit, perkiraan hujan, dan sebagainya — manusia dapat saksama memperhatikan hal-hal di sekelilingnya, juga dirinya sendiri dan apa yang mereka rasakan.

Sudah menjadi pendapat umum bahwa sebagian besar penyakit asalnya dari pikiran. Banyak orang terlalu fokus dengan pikirannya sendiri hingga menepikan realitas yang ada di sekelilingnya. Pikiran itu tidak nyata, tetapi abstrak belaka. Mestinya manusia dapat fokus terhadap apa yang nyata, dapat dilihat atau dirasakan melalui indra. Sebelum menyibukkan diri dengan hiruk pikuk kerja, manusia dapat mengalihkan pikirannya terhadap kenyataan yang paling nyata.

Harold Sherman (2019) dalam bukunya, Know Your Own Mind, telah memberi tahu kita cara menyugesti alam bawah sadar sehingga berpengaruh pada perasaan atau emosi. Dengan mengatakan bahwa hari ini akan berlangsung baik, misalnya, seseorang dapat menyingkirkan kekhawatirannya, mengurangi pusing di kepala akibat cemas dan was-was. Atau, sekadar berterima kasih pada tubuh yang telah “bekerja” atau berfungsi dengan baik sehingga meningkatkan syukur dan tekad akan merawatnya dengan lebih baik lagi.

Dengan pikiran, manusia memang dapat berpengetahuan lalu bijak bertindak. Namun, pikiran pula yang mengantarkannya pada keadaan-keadaan yang buruk, jika tidak dikendalikan. Banyak-sedikitnya segala hal memang memiliki pengaruh. Dalam hal ini, sayangnya, pikiran atau akal yang digadang-gadang sebagai pemberian Tuhan untuk membedakan manusia dengan makhluk lain pun demikian, butuh penertiban dan pengendalian oleh diri sendiri.

Barangkali inilah mengapa sering kali saat membaca novel atau jenis prosa lainnya, kita mendapatkan gambaran cuaca pada awal cerita, suatu hal yang hari ini kerap dinilai membosankan karena dianggap bertele-tele. Ternyata selain untuk memudahkan pembaca mengimajinasikan latar, penulis juga mengajak kita untuk turut memperhatikan cuaca berikut hal-hal “sepele” yang berkaitan dengannya.

Cuaca itu bisa saja menjadi bagian dari bangunan cerita, atau memang hanya menjadi hiasan semata. Namun, kebijaksanaan penulis, saya kira, telah sampai pada ajakan kepada para pembaca untuk sejenak berkunjung ke sebuah dunia, tempat manusia melupakan dunia asalnya yang sudah agak kacau. Atau, bisa jadi itu berupa maksud agar pembaca juga memperhatikan sekelilingnya, menghadirkan diri penuh dalam kenyataan, dan memperhatikan hal-hal kecil sesederhana, bagian alam semesta yang sering luput. Pada akhirnya, pun sama-sama melupakan kekalutan pikiran — barang sebentar.

Seorang penulis masyhur, Ernest Hemingway, mengaku bahwa ia menulis apa yang ia ketahui. Dengan begitu, tulisannya ternilai bagus. Dalam salah satu suratnya kepada Edward O’Brien pada 1924 (Belajar Menulis, terbitan Circa, 2022), ia bilang: “Yang coba kulakukan adalah menggambarkan negara tersebut sehingga setelah membacanya, kamu tidak ingat lagi kata-katanya, melainkan benar-benar berada dalam negara itu.

Di dalam penggambaran negara, tentu ada cuaca dan kondisi alam. Kepada John Dos Passos pada 1932 juga Hemingway menulis surat bahwa cuaca sangat penting sehingga ia mengingatkan agar mencatatnya (2022: 44). Dengan mencatat cuaca, orang dapat memperhatikan hal-hal nyata, hal-hal kecil yang sering dilewatkan, juga selintas-selintas peristiwa yang menyertainya pada keadaan “kini”. Betapa baik ia mengingatkan kita pula untuk hal itu.

Cuaca sebagai pengantar, pun cuaca sebagai pengalih pikiran. Baik dalam penghayatan “sekarang” maupun percakapan, cuaca hadir. Dengan dirinya sendiri, manusia dapat mengalihkan pikiran lewat menyadari realitas yang nyata dan indrawi. Dengan percakapan, ia meleburkan diri, menjadi manusia sebagai makhluk sosial, bersama orang lain. Bermula dari cuaca.

Surakarta, 4 November 2023

--

--

Hana al Biruni

hadir dan mengalur-mengalir || uuhanaaa@gmail.com || Indonesian literature and cultural studies