Catatan Ramadan dan Upaya Menyiasati “Duka”

Hana al Biruni
4 min readApr 9, 2024

--

Hal melekat dengan Ramadan itu salat tarawih. Ternyata tarawih bukan sekadar aktivitas ibadah. Tarawih bagiku justru lebih sebagai sebuah peristiwa kultural. Setelah mengalami rantau untuk studi di Solo, aku mendapati beberapa perbedaan. Ini tidak lagi soal jumlah rakaat, bukan pula soal ada kultum atau tidak, juga bukan soal seruan salawat di antara rakaat-rakaatnya — aku tidak ingat nama untuk hal ini.

Salah satu “kekagetan kultur” (culture shock) saat hidup di Solo, aku mengalami tarawih setiap harinya berganti imam. Mungkin bisa disebut “shift-shift-an” untuk memudahkan kita memahaminya. Misal, hari Senin diimami oleh Ustaz A, besoknya giliran Ustaz B. Bahkan, ada jadwalnya. Di kampung halamanku, Pekalongan, di langgar tempat kami tarawih, hanya ada satu imam untuk salat tarawih sebulan penuh — jika tidak ada kendala tertentu, misal sakit.

Mungkin di kampungku memang tidak banyak orang yang berani atau mumpuni untuk menjadi imam. Seingatku, hanya ada beberapa imam dalam periode yang lama, mengimami setiap salat fardu di langgar. Dengan demikian, suaranya begitu khas dan membekas dalam ingatanku tentang kampung halaman, Ramadan, dan tarawih.

Mbah Masduki (Mbah Duki), namanya. Ia sudah mengimami kami selama belasan tahun (atau mungkin lebih, setidaknya selama aku hidup dan tinggal di sini). Setiap Ramadan, ia menjadi andalan sebagai imam tarawih. Bacaannya fasih, tidak lama, dan geraknya tangkas. Itu penting sebab kami “menempuh” tarawih dengan 20 rakaat.

Pada beberapa peristiwa yang aku lalui pada tahun-tahun berat (2018, 2020, 2022) ketika aku menjalani Ramadan di rumah setelah merantau atau sempat mengalami merantau, aku semakin menyadari aku sedang di mana dan mengapa aku menyebut tempat ini sebagai kampung halamanku. Ingatan-ingatan masa kecil tentu turut membangunnya. Selebihnya, aku merasa kedukaan itu terobati, pelan-pelan, dengan penuh menghargai apa yang sedang aku hadapi dan sempat rasakan.

Peristiwa-peristiwa yang belum tentu terjadi dua-tiga kali atau berulang dengan perasaan yang sama, misalnya, aku coba benar-benar hadir. Saat itu aku belum tergerak untuk mencatatnya, apalagi merekamnya sehingga tersimpan sebagai memori digital. Aku hanya menjalani, untuk menimbun ingatan sebaik-baiknya, ingatan baik tentang bulan baik.

Langgar kami pun sudah berbeda. Aku cukup menyesal tidak mengingat detailnya dengan baik. Padahal, masa kecilku dan teman-teman ada di sana — meski sering bikin rusuh dan jengkel jamaah lain. Meski tidak menekuni ilmu sejarah, untuk perkara ini aku cukup sentimental dan berhasrat tinggi untuk mengabadikannya; segala peristiwa, pun ingatan tentang benda.

Baru tahun lalu (2023) aku menyadari, mungkin suatu saat akan lebih banyak lagi perbedaan yang semakin sulit ingatanku untuk mengejar kelampauan kenangan. Satu hal, imam tarawih kami, Mbah Duki, masih menjadi imam, masih terdengar prima. Ia memang tergolong sepuh — tidak tahu persis angka, tapi kiraku ia pasti lebih dari 60 tahun usianya. Namun, ia seolah masih punya banyak daya untuk menjadi imam. Suaranya masih lantang dan jelas.

Kini, 2024, lima hari jelang lebaran ketika aku baru pulang ke rumah dan tarawih pertama di langgar, sesuatu berbeda, sangat nyata. Aku tidak lagi mendapati suara Mbah Duki sebagai imam. Awalnya, kukira ia sedang sakit. Baru keesokan harinya, kudapat kabar setelah bertanya pada Ibuk-Bapak, imam kami itu telah meninggal lebih dari sebulan yang lalu.

Kabar duka, meskipun terlambat tersampaikan, tetaplah sebagai kabar duka. Meski bukan kedukaan personal karena aku bukan anggota keluarganya atau tidak terlalu mengenalnya, bagiku kehilangan itu nyata ada. Meski “perjumpaan” kami hanya pada saat Ramadan — aku sangat jarang ke langgar untuk salat berjamaah — dan ini “hanya” perkara tarawih, aku masih sulit mencerna keadaan ini.

Ingatan tentang bagaimana aku menjalani Ramadan pada tahun-tahun lewat bermunculan. Baru kuingat, tahun kemarin, hari-hari terakhir Ramadan, ada peristiwa yang mungkin saat ini terbaca sebagai sebuah tanda. Saat salat witir terakhir (satu rakaat) yang disertai doa qunut, ia tampaknya luput melakukannya. Saat itu pulalah aku menyadari betapa rawan ingatan yang sudah berumur. Hebat sekali pastinya selama ini ia menjadi imam, pikirku, berhati-hati dengan catatan ingatannya — tidak hanya soal bacaan surat, tapi juga jumlah rakaat, yang ini pun aku sendiri masih payah, padahal masih muda.

Besok, 10 April 2024, kemungkinan besar Idulfitri. Kami biasa salat id di masjid, bukan di langgar, di gang yang berbeda. Pak Yai, kami memanggilnya, tokoh masyarakat sekaligus kyai di kampung kami yang juga mengasuh madrasah dan majelis ilmu di masjid, menjadi imam salat id setiap tahunnya. Bahkan, bacaan yang dipilihnya (dan cara membacanya) pun aku jadi agak hapal. Salah satu “duka” bagi aku yang sentimental ini, tahun lalu (2023) ia tidak mengimami salat id. Alhamdulillah, ia masih sehat ketika aku berkunjung ke madrasah tiga bulan lalu.

Kedukaan, kehilangan, barangkali itu semua ada karena aku sudah terbiasa dan masih kaget menghadapi perbedaan. Aku mengakuinya. Namun, bagaimanapun, upaya untuk menjaga ingatan dan awas terhadap perubahan itu ada karena ada beberapa peristiwa yang menurutku dapat setidaknya disembuhkan lewat pengulangan pengalaman. Entah untuk mengenang, pun memanipulasi ingatan. Aku tidak tahu. Aku hanya menjalaninya. Aku hanya berusaha menyiasatinya; duka dan segala penyertanya.

Satu yang pasti, aku jadi sadar mesti mendoakan orang-orang baik dan “ampuh” yang sudah menjadi imam dengan segala bekal ilmu dan risiko tanggungan. Bukan agar keadaan tetap sama agar aku dapat merawat kenangan atau ingatan masa kecil atau sekadar hal yang sudah rutin, bukan. Sama sekali bukan. Aku berdoa, mendoakan kesehatan dan keselamatan orang-orang baik, keselamatan dunia dan akhirat. Aku masih mendoakan umurnya semoga masih panjang dan diberi daya sebab masih banyak yang membutuhkannya.

Al-Fatihah.

Pekalongan, 9 April 2024

*Maaf telah menyebut “ia”, alih-alih “beliau” untuk tokoh-tokoh yang jelas aku hormati. Ini semata sebab agar tulisan ini “nyaman dibaca”. Semoga demikian.

--

--

Hana al Biruni

hadir dan mengalur-mengalir || uuhanaaa@gmail.com || Indonesian literature and cultural studies