Catatan dan Ingatan

Hana al Biruni
4 min readFeb 22, 2023

--

Kegiatan mencatat di buku tulis bertujuan memindahkan ingatan yang ada di otak menjadi bentuk fisik yang sewaktu-waktu dapat dilihat kembali. Salah satu kenangan masa sekolah adalah kewajiban mencatat apa-apa yang guru tuliskan di papan berwarna hitam. Selain itu, yang membekas yakni mengerjakan tugas-tugas sekolah. Misal, meringkas materi pelajaran di buku tulis dengan tulisan tangan.

Seorang guru yang mengajar bahasa Inggris semasa saya SMP (2013) memerintahkan kami (murid-murid) untuk mencatat seluruh kosakata bahasa Inggris berikut artinya di buku tulis. Kosakata tersebut berasal dari buku paket atau lembar kerja siswa (LKS). Tidak hanya itu, dalam setiap tugas yang diberikan yakni berupa latihan soal, guru yang terkenal tegas tersebut meminta kami untuk menerjemahkan seluruh kata yang ada di halaman-halaman tersebut. Yang jelas, tidak hanya menerjemahkan teks soal dan pilihan jawabannya, tetapi juga beserta instruksi soal tersebut.

Kesemuanya kami lakukan dengan tulis tangan. Tidak heran jika banyak murid yang tidak menyukai mata pelajaran ini karena tugas-tugasnya dirasa merepotkan. Namun, keunikan guru saya tidak hanya itu. Dia berprinsip tidak menuliskan jawaban di buku paket atau LKS miliknya. Jika kami dengan senang hati mencoret-coret buku paket — terlebih bagian latihan soal — agar terlihat rajin dan mudah mengingat jawaban apabila nantinya menemukan soal serupa, guru saya justru membiarkan bukunya bersih.

Alasannya, dia ingin menjaga kualitas ingatannya. Jika jawaban telah tertulis di bagian latihan soal, dia memang menitipkan ingatannya di situ. Namun sebenarnya, dia merasa hal demikian justru membuat dia tidak banyak mengingat pengetahuan. Ketika membuka kembali buku tersebut, dia tidak merasa perlu memecahkan soal itu lagi. Maka, dia merasa otaknya tidak digunakan kembali, tidak digunakan terus-menerus.

Dengan tidak menuliskan jawaban di bukunya, dia dapat selalu menjawab soal tersebut: mengasah ingatannya. Jika sewaktu-waktu merasa lupa dengan materi atau cara memecahkan soal tersebut, dia juga mempelajarinya kembali. Maka, bisa dibilang, dia tidak pernah berhenti belajar. Hal ini tentu kontras atau bertentangan dengan kalimat: “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Yang disebut tulisan di sini juga berarti catatan. Kita teringat petunjuk-petunjuk diberikan Hernowo dalam buku Mengikat Makna (2001). Mencatat atau menuliskan lagi dari hasil belajar atau membaca artinya tindakan mengikat makna. Khusus dalam menghadapi soal-soal, dia tidak mencadangkan ingatannya dengan menuliskan jawaban di buku. Dia memiliki caranya sendiri dalam merawat ingatan dan mengikat-kekalkan ilmunya.

Temuan

Aksara bukan barang baru. Ditemukan ribuan tahun lalu, aksara merupakan produk berpikir manusia yang kemudian memudahkannya untuk menuangkan gagasan dalam bentuk simbol bunyi, bukan lagi dalam bentuk gambar atau simbol-simbol yang sulit diartikan dan dipahami. Keterbacaan suatu gagasan dipermudah dengan digunakannya lambang bunyi tersebut. Dengan demikian, komunikasi antarmanusia berkembang dengan adanya tulisan, tidak hanya dalam bentuk lisan.

Tulis-menulis di setiap zaman tentu berubah, mengikuti perkembangan teknologi. Jika semula manusia mengukir huruf di batu lalu menemukan kertas dan tinta, sekarang manusia dapat melakukan kegiatan tulis-menulis dengan lebih praktis yakni menggunakan teknologi digital. Kepraktisan tersebut tidak lagi membutuhkan peralatan-peralatan menulis, seperti pena atau pensil. Manusia hanya membutuhkan seperangkat gawai untuk memindahkan ingatannya dalam bentuk tulisan pada ruang-ruang digital yang tidak tentu rimbanya. Segalanya terlihat mudah.

Sejarah itulah yang kami teruskan saat menjadi murid dalam waktu yang lama. Tangan kami sudah menulis di ratusan atau ribuan halaman buku tulis bila mau dihitung. Kami mengeluarkan energi yang besar yang digunakan dalam menulis dengan pensil dan bolpen, sejak SD sampai kuliah di perguruan tinggi. Kami berada dalam sejarah yang beraksara meskipun mengalami perubahan-perubahan yang drastis.

Jarak dan Kefanaan

Hingga dua dekade abad ke-21 ini, teknologi yang digunakan untuk menulis masih berupa peralatan yang digunakan untuk menulis dengan tangan, mesin tik, dan laptop/gawai/produk digital lainnya. Bagi generasi yang tumbuh sebelum maraknya perangkat digital dan internet, kegiatan tulis-menulis dengan tangan masih sangat digemari. Nicholas Carr dalam The Shallows (2011) mengatakan bahwa segala alat menulis yang kita gunakan berfungsi sebagai alat berpikir sekaligus memori. Menulis dengan pensil, pena, mesin tik, ataupun laptop berdampak berbeda dalam berpikir dan memori.

Bukannya tidak terbiasa atau menolak kemajuan zaman, tetapi menulis dengan tangan dianggap lebih mendayakan tubuh. Sebab, orang membutuhkan gerak yang lebih daripada menulis dengan menggunakan mesin tik atau teknologi digital. Tidak hanya itu, apa yang ditulis dengan tangan adalah apa yang tertuang dari otak. Juga, tulisan yang “tumpah” di atas kertas itu adalah diri sendiri — cerminan — dalam arti tulisan itu adalah tulisan tangan yang menunjukkan identitas diri. Maka, tidak heran jika muncul rasa memiliki dan dekat dengan apa yang tertulis tersebut.

Ingatan yang dititipkan pada benda fisik dan dalam prosesnya mengerahkan tenaga serta daya disebut lebih membekas. Sementara itu, jika dalam bentuk digital, semacam ada jarak antara subjek dan objek — penulis/pencatat dan catatannya. Ketika manusia butuh menemukan kembali catatannya, ia harus mencarinya dan tidak dapat secara nyata/lahiriah melihat catatannya tersebut sebab ia menyimpannya di ruang digital.

Ingatan manusia terbatas. Oleh karena itu, manusia saat ini cenderung mencadangkan ingatannya ke dalam media digital dengan maksud mencatat dan mengabadikan ingatan. Namun, luput menyadari bahwa sesungguhnya manusia berjarak dengan catatannya itu sendiri. Sebab, diperlukan usaha lebih untuk menemukan ingatan/catatannya jika ingin meniliknya kembali.

Surakarta, Maret 2022
*tulisan ini telah dimuat di koran Solopos, subrubrik Mimbar Mahasiswa, pada 29 Maret 2022.
*editor pertama: Bandung Mawardi

Solopos (29 Maret 2022), tulisan pertama yang dimuat di media massa

--

--

Hana al Biruni
Hana al Biruni

Written by Hana al Biruni

hadir dan mengalur-mengalir || uuhanaaa@gmail.com || Indonesian literature and cultural studies

No responses yet